LPKBHI menghadiri Forum Group Discussion (FGD) dalam rangka Analisis Evaluasi Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
LPKBHI diwakili oleh hj. Briliyan Ernawati, S.H., M.Hum. menghadiri Kegiatan Forum Group Discussion (FGD) dalam rangka Analisis Evaluasi Implementasi Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP) Baru dengan tema “Living Law”yang diselenggarakan oleh Pusat Strategi Evaluasi dan Publikasi Kebijakan hukum Badan Strategi Kebijakan Hukumtahun 2023. FGD ini dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 5 Agustus 2025.
FGD tersebut dimaksudkan sebagai bentuk sosialisasi dan sekaligus evaluasi persiapan implementasi KUHP Baru ( Undang-Undang No1 tahun 2023 tentang KUHP, yang diberlakukan secara nasional pada tanggal 2 Januari 2026. Kajian dalam FGD ini lebih menekankan pada problematika “Living Law” dalam implementasinya.
Pasal
2 ayat (1) KUHP Baru menyebutkan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam Undang-Undang ini; Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa
‘Hukum yang hidup di masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (1) berlaku dalam
tempat hukum itu hidupdan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang Ini dan
sesuai dengan niali-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945, hak asasi manusia dan asas hukum umum yang diakui
masyarakat bangsa-bangsa”; Dan ayat (3) menyebutkan bahwa “Ketentuan mengenai
tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur
dengan Peraturan Pemerinrah”;
Pembaharuan
hukum pidana khususnya Pasal KUHP Baru sudah menjadi kebutuhan dan membutuhkan
penegasan dalam suatu regulasi (KUHP Baru)yang selama ini menggunakan KUHP
Belanda yang sudah usang dan tidak relevan. Eksistensi “Living Law” atau
hukum yang hidup di masyarakat sebenarnya sudah ada, secara yuridis berbasis pada
UU No 1/DRT/Tahun 1951 Pasal 5 ayat (3) huruf b. Dengan dasar yuridis tsb, maka
penentuan tindak pidana (Criminal Act) tidak hanya bersumber pada asas
legalitas formal saja tetapi juga didasarkan pada asas legalitas material.
Pergeseran asas tersebut, memberikan
ruang pada “hukum yang hidup atau hukum yang tidak tertulis (The
Living Law) dalam penentuan suatu perbuatan diklasifikasikan sebagai tindak
pidana (Criminal Act).
Penegasan konsep tersebut cukup ideal
dan merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia yang mempunyai
karakter kolektif bukan individualistis, namun demikian tidak
mudah dalam implementasinya setidaknya ada beberapa tantangan antara lain
perubahan mindset atau paradigma KUHP Baru karena yang dirubah bukan
pasal per pasal tetapi lebih kepada filosofi dari sistem hukum Indonesia,
perlunya inventarisasi hukum-hukum yang hidup di masyarakat al hukum adat di
berbagai daerah, koordinasi sinergitas dan partisipasi public dalam penyusunan
Living Law dan perlunya PP untuk menentukan standarisasi, tata cara dan
penerepan hukum adat sesuai amanat Pasal 2 KUHP Baru.
"Ubi Sociteas Ibi Justicia", di mana ada
masyarakat dan kehidupan di sana ada hukum atau keadilan.